Pemerintah Daerah Mediasi Sengketa Lahan Di Desa Pantai Baru

KOTABARU, Kontak 24 com.-
Sengketa lahan antara ahli waris warga Dayak dan para penambak asal Sulawesi di wilayah Lubuk Luas, Desa Pantai Baru, Kecamatan Pulau Laut Tengah, Kabupaten Kotabaru, kalsel, mulai menemukan titik terang setelah dilakukan proses mediasi bersama Pemerintah daerah .

Mediasi yang difasilitasi oleh pemerintah kecamatan berlangsung di Balai Desa Pantai Baru dan dihadiri sejumlah pihak, mulai dari Plt Camat dan Sekretaris Camat Pulau Laut Tengah, Kapolsek beserta anggota, perwakilan dari BPN dan BKSDA, serta Kepala Desa Pantai Baru. beberapa hari lalu. Sabtu ( 12,/07/25).

Hadir pula organisasi masyarakat adat seperti Dewan Adat Dayak (DAD) dan Barisan Pertahanan Masyarakat Adat Dayak (Batamad). Pihak keluarga ahli waris dari almarhum Agau warga asli Dayak ikut menyampaikan tuntutan, sementara dari pihak pengelola lahan sejak tahun 1980-an turut hadir para penambak asal Sulawesi yang diwakili Kamsul.

Plt Camat Pulau Laut Tengah, Ibrahim, menyampaikan bahwa mediasi berlangsung aman tanpa ada gesekan antarpihak. Ia berharap langkah ini menjadi awal kerja sama yang baik demi terciptanya ketenangan di wilayah desa maupun kecamatan.

“Alhamdulillah, dari kedua pihak berlangsung aman. Tidak ada bentrok. Harapan kami ke depan, mereka bisa bekerja sama dalam pengelolaan lahan, agar wilayah ini tetap aman dan damai,” ujar Ibrahim.

Lebih lanjut, permasalahan terletak pada penguasaan tanah oleh keluarga almarhum Agau yang diklaim telah dikelola secara turun-temurun sejak tahun 1952. Namun sejak tahun 1990, pihak keluarga sempat meninggalkan lahan karena bekerja di luar daerah.

Dari hasil mediasi, disepakati bahwa pihak ahli waris akan berkonsultasi langsung dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) selaku pemegang kewenangan atas kawasan yang diketahui termasuk dalam zona cagar alam.

Baca Juga  Ketua Tim Penggerak PKK, Ny. Suci Anisa Rusli Hadiri kegiatan Acara Pertemuan Kader

Sekretaris Camat Akbar menambahkan, pihak penambak mengaku telah mengelola sekitar 400 hektar lahan. Sementara dari pihak ahli waris mengklaim sekitar 200 hektar sebagai tanah adat keluarga mereka. Meski demikian, pemerintah menegaskan bahwa saat ini belum ada bukti kepemilikan sah, sehingga pengelolaan dilakukan berdasarkan pengawasan BKSDA.

“Kami dari pemerintah hanya sebagai penengah, bukan pengadil. Kita tidak ingin ada yang merasa dikalahkan atau dirugikan. Kita serahkan mekanismenya kepada BKSDA. Tugas kita hanya memastikan semuanya berjalan transparan dan adil,” tegasnya.

Sementara itu, Ibu Debora, ahli waris dari almarhum Agau, menyambut baik langkah mediasi tersebut. Namun ia berharap pemerintah benar-benar adil dalam menyikapi pembagian pengelolaan lahan, tanpa mengabaikan hak-hak adat.

“Kami senang ada solusi. Tapi kalau dikatakan yang mereka kelola 400 hektar, seolah-olah tanah kami habis. Harapan kami pemerintah bisa menjadi penengah yang bijak dan transparan. Jangan sampai kami disuruh keluar dari lahan yang sudah turun-temurun kami jaga,” ungkap Debora.

Hingga berita ini diturunkan, pihak BKSDA akan menindaklanjuti hasil mediasi dengan meninjau ulang pengelolaan kawasan tersebut sesuai regulasi konservasi yang berlaku.

( AA ).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *